Virtual Reality (VR) merupakan salah satu teknologi yang dapat membawa pengguna pada suasana yang bersifat virtual atau tidak nyata. Perkembangan teknologi ini sudah banyak berkembang sejak awal abad 20.
Perangkat ini umumnya diterapkan pada video game, namun penerapannya juga terdapat baik dalam bidang militer, simulasi, maupun medis. Beberapa orang juga mengatakan bahwa VR dapat memiliki peran yang penting dalam edukasi, seperti mengajarkan sejarah.
Dalam video game, berbeda dengan perangkat game lain, VR memungkinkan pengguna untuk menggerakkan bagian badannya sebagai alat kendali, daripada harus menekan tombol untuk melakukan aksi tertentu. Sebagai contoh, apabila dalan VR pengguna hendak mengambil suatu barang, maka mereka hanya perlu membuat gesture ketika mengambil barang tersebut layaknya mengambil barang secara nyata. Hal ini didasari oleh sensor yang terdapat pada perangkat yang mampu mendeteksi perubahan posisi serta arah sensor tersebut, baik secara optis maupun non-optis. Hal ini secara otomatis dapat memungkinkan pengguna untuk benar-benar menggerakkan kakinya layaknya seperti orang berjalan untuk berpindah tempat dengan user experience yang lebih besar, daripada menggunakan analog atau tombol arah pada game controller konvensional.
Namun, menurut saya, ada dua keterbatasan teknologi VR yang dapat saya katakan serius, yakni
1. Tempat bergerak yang terbatas.
Dapat kita katakan bahwa teknologi VR membuat kita leluasa mengendalikan karakter yang kita gunakan dalam game sesuai anggota badan yang kita mau. Pada video game konvensional, kita hanya dapat menggerakkan karakter sesuai dengan apa yang diprogram oleh game developer, sedangkan pada VR, kita dapat menggerakkannya apapun yang kita inginkan. Namun, bayangkan apabila kita bermain game open world dengan tempat yang sangat luas seperti Legend of Zelda : Breath of Wild atau Shadow of the Colossus dalam VR, berapa besar ruangan yang kita perlukan untuk dapat berjalan di tempat seluas itu? Kita akan membutuhkan ruangan sebesar stadion dan atau bahkan lebih luas. Hal ini disebabkan karena selain kita berpindah tempat dalam dunia virtual, posisi kita juga berubah di dunia nyata. Hal ini dapat kita selesaikan menggunakan teknologi semacam treadmill yang bergerak dari segala arah menuju satu titik (sehingga membentuk lingkaran) sehingga posisi kita di dunia nyata tidak berubah. Namun, permasalahannya adalah bahwa metode tersebut akan memakan biaya yang besar. Dikutip dari tomshardware.com, pergerakan dalam VR merupakan salah satu masalah terbesar bagi para pengembang VR. Ada sekitar lima metode gerakan yang saat ini digunakan, yaitu
a. Mode nyaman, dimana pengguna menggunakan joystick untuk bergerak. Walaupun dinamakan mode nyaman, umumnya pengguna akan mengalami mabuk darat dengan metode ini.
b. Teleportasi, dimana pengguna harus memilih tempat tertentu agar langsung berpindah secara instan ke tempat tersebut. Namun, tidak semua pengguna menyukai teleportasi.
c. Warp Speed, sama seperti teleportasi, namun karakter akan melakukan sprint ke titik tersebut.
d. Dari inang ke inang, dimana karakter tidak bergerak, melainkan menggerakkan robot untuk bergerak.
e. Menggoyangkan tangan, dimana pengguna menggerakkan tangannya seperti ketika berjalan untuk bergerak. Semakin cepat gerakan tangannya, karakter akan bergerak semakin cepat. Namun, masalahnya adalah mesin tidak dapat membedakan gerakan berjalan di tempat dan benar-benar berjalan.
Dari kelima metode di atas, VR belum dapat memberikan user experience yang imersif secara menyeluruh, karena metode yang digunakan tidak melibatkan kaki.
2. Respon/feedback dari dunia virtual ke tubuh
Yang dimaksudkan pada poin kedua ini adalah bagaimana kita benar-benar merasakan sentuhan dari dunia virtual. Manusia mempunyai 5 indera, dan 3 indera yang terpenting dalam VR adalah pengelihatan, pendengaran, dan sentuhan. Sudah jelas bahwa headset VR memberikan respon visual dengan cukup sempurna, serta respon audio yang diprogram sedemikian rupa sehingga volume suara dapat ditentukan dari jarak serta arah sumber suara. Untuk indera penciuman saya rasa tidak terlalu penting, karena umumnya hanya berguna untuk sistem respirasi (kecuali apabila video game yang dimainkan mengharuskan pemain untuk membedakan bau yang bervariasi. Terlebih lagi indera pengecap, yang hanya fungsional untuk proses pencernaan makanan. Indera sentuhan saya rasa tidak kalah penting dari indera pengelihatan dan pendengaran, karena dalam dunia virtual umumnya kita juga perlu melakukan sesuatu dengan tangan kita sehingga tangan kita terlibat kontak dengan benda yang ada di dunia virtual tersebut. Bahkan tidak hanya tangan, seluruh bagian tubuh juga seharusnya dapat merasakan sesuatu akibat kontak dengan dunia virtual, karena peran dari organ kulit pada tubuh manusia. Maisto et al. (2016) membuat desain dalam teknologi Augmented Reality (AR, sejenis VR) yang memungkinkan pengguna agar dapat merasakan bahwa kulit pengguna benar-benar terkena kontak terhadap benda dalam dunia virtual. Menggunakan motor servo, perangkat dirancang sehingga gaya yang diberikan oleh pengguna akan memberikan umpan balik kepada pengguna itu sendiri sebagai akibat dari hukum Newton III, yang berbicara tentang aksi-reaksi. Namun, risetnya masih terbatas untuk organ bagian jari, dan dapat diperluas untuk bagian organ yang lain. Meskipun demikian, permasalahannya adalah, apabila video game yang kita mainkan sejenis permainan tinju seperti Thrill of the Fight, akankah teknologi itu benar-benar diterapkan? Pemain tinju umumnya akan memberikan gaya atau momentum yang sangat besar, sehingga dapat mencederai lawannya. Bayangkan apabila teknologi feedback tersebut diaplikasikan pada game ini, dampaknya bisa sangat fatal, karena selain tidak semua orang bisa memainkan, juga bisa berakibat fatal kepada orang berpengalaman apabila terjadi kesalahan perhitungan yang menyebabkan gaya feedback yang diterima pengguna menjadi sangat besar. Dari sini dapat dikatakan bahwa VR tidak dapat memberikan user experience secara menyeluruh – apabila untuk game tinju, teknologi feedback ini tidak dapat digunakan seluruhnya, dan yang dapat dilakukan adalah antara tidak menggunakannya atau dengan memperkecil gaya yang dihasilkan dan diderita.
Kita tahu bahwa meskipun VR memiliki keterbatasan seperti telah disebutkan sebelumnya, VR masih memberikan user experience yang lebih besar daripada game konvensional untuk game first-person, karena kita dapat melakukan gerakan yang lebih banyak. Namun, apakah dengan keunggulan ini VR dapat menyaingi game konvensional yang notabene menggunakan joystick atau keyboard + mouse? Kita tahu bahwa game dengan kualitas terbaik atau disebut sebagai game AAA umumnya merupakan game petualangan seperti Assassin’s Creed, yang memiliki potensi untuk dijadikan first-person dan diaplikasikan dalam VR, sehingga memberikan kemungkinan akan tergantikannya game konvensional dengan VR. Namun demikian, saya agak meragukan hal tersebut, karena beberapa hal. Pertama, game VR hanya terbatas untuk beberapa game tertentu (contoh, memainkan game Super Hexagon dalam VR tidaklah relevan). Kedua, dengan adanya internet serta sarana penjualan game seperti Steam, industri game indie semakin meningkat, ditandai dengan game seperti Undertale, Doki-doki Literature Club, dll. sehingga game indie tersebut justru semakin dapat bersaing dengan game AAA karena harga yang lebih terjangkau. Ketiga, tidak bisa dihindari bahwa VR menguras energi lebih banyak, sedangkan kita tahu bahwa para pecinta game umumnya tidak banyak bergerak.
Referensi :
Maisto, M., Pacchierotti, C., Chinello F., Salvietti, G., De Luca, A., Prattichizzo, D., 2016, J. IEEE Trans. Haptics, 10(4).
http://www.sciencemag.org/news/2017/04/finger-devices-let-users-touch-virtual-objects
http://www.tomshardware.com/news/vr-locomotion-developer-solution-roundup,33108.html
https://www.vrs.org.uk/virtual-reality-gear/motion-tracking/